Laman

Minggu, 29 September 2013

Pertemuan Singkat.

Awan menggelap dengan sendunya. Tetes demi tetes air perlahan berjatuhan. Jatuh dengan lembut menyentuh tanah yang kering. Aku menadahkan tangan agar bisa menyentuhnya. Merasakan isak yang hujan rasakan. Ikut meringis dalam hati menahan kepahitan. Terbuka lagi memori-memori lama yang selama ini kusimpan, ku sembunyikan. Ingatan-ingatan yang lalu terputar kembali di otakku.
Ku putar lagu tentang kamu. Aku biarkan jiwa menjeritkan kesedihan. Aku biarkan airmata mengalir sederas hujan hari ini. Ntah mengapa, aku suka melakukan hal ini. Menangisi kepergianmu, mengharap-harap kehadiranmu disini.
Yap, doaku dengan sempurnanya terkabul. Tuhan mempertemukan kita lagi. Dengan cara yang berbeda. Dengan waktu yang terlalu singkat. Bahkan, tak sepatah katapun keluar dari bibirmu. Keterkejutanku dan keterkejutanmu membuat kita membisu. Hanya senyuman tipis bahkan hampir tak terlihat yang kamu tunjukkan. Sedangkan aku, berusaha setulus mungkin untuk tersenyum. Sekuat mungkin terlihat biasa saja tanpa terlihat terluka. Sangat berbeda denganmu yang terlihat lebih bahagia dari biasanya.
Pertemuan singkat yang meninggalkan bekas. Aku memacu motor bebekku secepat mungkin. Aku tak bisa lagi menahannya. Air mataku tumpah lagi. Jalanan di depanku seketika memburam. Hanya terlihat lampu-lampu kota di sekelilingku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku berhenti di sebuah tempat yang cukup sepi. Ku peluk erat kedua lututku. Ku genggam erat jemariku. Berusaha menghilangkan rasa sakit ini. Sendiri. Aku lah yang menghapus airmataku sendiri selama ini. Aku menyimpan semua kepedihan ini untukku sendiri. Sedih itu milikku, kamu tak perlu tahu ataupun orang lain. Aku memendam segalanya. Aku.. Aku.. Masih mencintaimu. Masih sangat mencintaimu. Adalah dusta apabila aku bilang aku membencimu, bohong ketika aku bilang tak peduli padamu. Aku tak tau sampaikan kapan aku akan mendustakan orang lain dan hati kecilku sendiri.
Aku tak pernah ingin berpaling darimu. Bagaimana aku bisa berpaling sedangkan aku masih sangat mencintaimu? Aku masih berharap. Berharap kamu sadar. Berharap kamu merindukan aku seperti aku merindukan ‘kita’.
Mungkin, suatu saat kamu akan kembali ke tempat kamu seharusnya, tempat ‘kita’ dulu. Aku menunggumu disini. Aku menunggumu dalam diam. Aku tak ingin membuatmu risih ataupun terkekang. Aku disini untukmu. Tanganku selalu terbuka untuk menyambutmu.
Karna suatu hari nanti, ketika kamu sadar dan merindukanku, ketika hatimu mulai terbuka lagi untukku, ketika kamu berpikiran untuk kembali, aku ada disini. Dan aku, tak pernah berpaling.


astria.

Rabu, 18 September 2013

Sepatu Untuk Adi

Matahari tenggelam hari mulai malam, sudah waktunya Adi dan teman-temannya untuk pulang. Hari itu adalah hari yang paling melelahkan bagi Adi. Bagaimana tidak, sepulang sekolah dia harus ikut latihan futsal terlebih lagi latihan fisik. Waktu berlangsungnya turnamen semakin dekat, itu berarti akan ada latihan tambahan dan lebih gila lagi.
Adi sebenarnya adalah anak yang pintar, akan tetapi semenjak ia bergabung dengan ekstrakulikuler futsal prestasi akademiknya menurun. Ibunya marah besar karnanya. Sehingga Adi harus membeli perlengkapan futsalnya sendiri hasil dari menyisihkan sebagian uang jajannya.
Malangnya nasib Adi hari itu. Ia telah merobek sepatu futsal kesayangannya. Sepatu itu akan di pakainya untuk turnamen bulan depan. Ia telah menghabiskan seluruh uang jajannya untuk membeli kado untuk temannya minggu lalu.
                “Bu, ibu cantik sekali hari ini, bolehkah Adi membantu ibu di dapur?” Adi mulai merayu ibunya.
                “Boleh saja. Tumben sekali kamu mau membantu ibu, ada maksud apa?” tanya ibunya yang mulai curiga dengan gerak-gerik Adi.
                “Nggg... Adi mau minta di belikan sepatu baru Bu. Sepatu Adi rusak dan sudah tidak layak pakai”.
                “Yasudah, tapi ibu hanya menambahkan setengah dari harga sepatu. Sisanya, Adi harus menabung agar uangnya cukup”.
Hari-hari berikutnya Adi semakin giat untuk menabung. Bahkan ia membawa bekal agar bisa menyisihkan lebih dari separuh uang jajannya. Akan tetapi, hasil dari menyisihkan uang jajannya itu tentu saja tidak cukup untuk menambahkan uang dari ibu yang kurang.
Kakaknya, Mbak Dina, merasa kasihan melihat adiknya yang sedang dalam kesulitan itu. Turnamen hanya tinggal beberapa minggu lagi dan Adi tidak mempunyai sepatu. Mbak Dina pun membongkar celengan sapi kesayangannya. Sebenarnya, Mbak Dina ingin membeli handphone keluaran terbaru menggunakan uang yang selama ini ia masukkan ke dalam celengan.
Esok paginya, seperti biasa, Adi dan Mbak Dina berceloteh ringan di meja makan. Mulai dari sekolah, teman, guru-guru yang membosankan, hingga tukang sapu sekolah, dan berbagai macam kegiatan. Seketika Mbak Dina teringat dengan sepatu Adi yang rusak.
                “Di, kok bisa sepatumu hancur lebur begitu?” singgung Mbak Dina. “Wajar mbak, sepatu itu kan sudah lama umurnya. Sudah waktunya di ganti” jawab Adi dengan santai.
Mbak Dina hanya membuang nafas panjang. Begitulah sifat Adi, selalu saja asal.
                “Ini Mbak tambahkan, tapi Adi harus menang yah dan nilai di sekolah harus bagus!” seru Mbak Dina.
Tentu saja mendengar itu mata Adi berbinar-binar.  Dia tidak perlu menyisihkan uang jajan terlalu banyak, ia bisa jajan sedikit lebih banyak sekarang.
Tepat seminggu sebelum pertandingan berlangsung Adi menghadapi ujian semester. Adi berusaha menepati janjinya agar belajar lebih giat. Adi tidak boleh gagal di ujian kali ini.
                “Nah ini baru adik Mbak yang paling ganteng” ledek Mbak Dina saat Adi sedang mengerjakan soal fisika.
                “Ya kan Adi sudah janji sama Mbak” sahutnya.
Setelah bel pulang berbunyi, Adi bergegas pulang ke rumah. Padahal tidak biasanya ia pulang sebelum jam satu. Ibu sudah berjanji hari ini akan mengajak Adi membeli sepatu baru.
Sesampainya di toko, Adi gelap mata. Rasanya ingin sekali membawa pulang semua sepatu yang ada di toko. Akhirnya Adi mendapatkan sepatu yang sangat pas untuknya, ia merasa puas karenanya. Sepatu itu berwarna merah dan ada sedikit corak kuning dan hitamnya.
Adi berhasil meraih juara pertama, meskipun ia bukan pemain terbaik, tapi ia sangat puas dengan apa yang ia dapat. Terutama perjuangannya untuk membeli sepatu baru yang merupakan saksi bisu kemenangannya untuk pertama kali.

                                                                                                                  

Seperti (dulu).

Lagu itu terus berputar dalam memori ku. Entah siang, malam, ramai ataupun sunyi. Aku hanya merasa kosong dan sendiri setiap saat. Sudah 2 minggu dan rasa perih itu belum hilang. Aku tak tau sampai kapan luka ini menggerogoti hatiku yang kecil ini.
Aku menyesali setiap hal yang pernah kita lalui bersama. Aku menyesal telah menjatuhkan hati padamu. Aku menyesal telah berharap banyak padamu.
Harusnya, aku lebih bisa menahan diri dan tahu diri saat itu. Harusnya aku tidak nekat untuk terus menelusuri hatimu sehingga memberimu kebimbangan yang dalam.
Aku memaksa masuk dan merusak hal indah bagi ‘nya’. Sulit bagiku untuk berhenti mengagumimu dalam diam. Hati kecilku memaksa agar aku bisa berbuat lebih untuk bersamamu.
Akulah orang terdekatmu sebelum ada dia. Akulah satu-satunya orang yang kamu percayai sebelum ada dia. Aku tidak pernah menyangka akan merasa kehilanganmu setelah kamu mendapat tambatan hati. Bahkan aku terlambat menyadari bahwa ternyata aku menyukaimu sejak dulu! Bagiku, persahabatan kita adalah yang terbaik dari segala-galanya. Dimana ada aku, disitu ada kamu. Hanya dua insan yang saling menyayangi sebagi sahabat. Aku bahkan tidak merasa membutuhkan seorang kekasih karna kamu telah merangkapnya.
Kamu bisa menjadi kakak, sahabat, bahkan terkadang kamu berlaku sebagai kekasihku. Aku merasa sempurna karna memilikimu! Kamu selalu bisa menghapus air mataku. Aku bahkan tak perlu meminta pinjaman bahu karna kamu akan lagsung memelukku ketika aku terluka.
Bertahun-tahun persahabatan tanpa pamrih kita lalui dengan segala sukacita. Namun ada kejanggalan padamu beberapa bulan terakhir. Kamu menyukai seorang perempuan yang cantik nan indah. Aku tersingkir olehnya. Kamu memilihnya dan meninggalkanku. Ntah mengapa aku tidak terima dengan perlakuan ini.
Bukankah seharusnya aku mendukung hubunganmu? Bukankah seharusnya tak ada kecemburuan dalam diri ini? Aku kalah. Aku melangkah mundur dengan teratur tanpa kau minta.
Hingga suatu hari aku mulai mengagumi seorang pria tinggi, cukup tampan, dan perawakan Jawa. Dia mendekatiku dan akupun mulai belajar menerimanya. Aku berusaha keras agar bisa menyayanginya seperti aku menyayangimu. Tapi hati tak bisa berbohong. Aku masih (terlalu) mencintaimu. Dan aku sadar, aku tidak bisa mencintai orang lain dengan perasaan yang sama.
Tiba-tiba, hari itu kamu kembali padaku. Mungkin kamu sedang bosan dengan ‘Si Cantik’. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan yang menggelora. Hatiku berjerit-jerit untuk segera menyatakan. Lalu meluncurlah kata-kata maut yang mulai merusak segalanya. Aku menyatakannya.
Mungkin, saat itu kamu merasa iba. Tak tega melihatku yang menatapmu penuh harapan.  Hubungan terlarang itupun akhirnya terbongkar. Usai sudah karna kamu tetap memiihnya dan meninggalkanku lagi.  Aku tak berdaya mendengar keputusanmu itu. Hujanpun tak bisa menutupi air mataku yang lebih deras. Aku terisak berhari-hari, hingga saat ini.
Apakah ia lebih menyayangimu  daripada aku? Apakah dia yang bisa membuatmu nyaman? Bukankah aku yang lebih tau banyak tentangmu daripada dia? Aku yang sudah bertahun-tahun bersamamu dan dia hanya perlu hitungan bulan untuk merebutmu.
Apa dia berhasil menghapus airmatamu seperti aku dulu? Apakah kamu juga melakukan kebiasaan kita dulu saat bersamanya? Aku tak pernah tau jawabannya.
Harusnya aku tidak pernah menyatakan hal bodoh itu. Dan harusnya hati ini tak perlu repot-repot untuk menyukaimu. 

Terbanglah.. Dan kembalilah saat lukaku sembuh.