Laman

Sabtu, 15 Oktober 2016

Stasiun Kota 121


Debu meminta angin datang di stasiun kota
Mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pelukan atau senyuman
Dan kereta api melengking lama
Ia marah-marah
Dan tak ada hujan atau pelangi
Kemudian ia pergi
Angin berlalu
Tangis datang
Pelangi porak-poranda
Hanya payung yang menjadi teman

Pada gerimis diakhir malam



astria

Senin, 03 Oktober 2016

Rabu di Bulan Ketiga,1970

Penyendiri bersenandung di balik meja 
Menata rapih kacamata yang patah
Beranjak pergi meraih gemerlap malam
Dengan tangan tersangkut dibelukar
Ia tampak secantik mawar
Terlihat semenggoda wine yang ia teguk
Dengan stilleto merah dan gaun biru yang bangga membalut dosa
Kemudian malam mulai menyelinap pada amarah
Yang menggugurkan daun di musim panas
Menyisakan tangkai tak bertuan
Meleburkan diri pada isakan hujan di malam rabu





astria

Bukan Puisi Patah Hati

Ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Tidak ada jingga atau merah hati yang berturut serta
Warna yang meredup malu untuk disaksikan
Engganmu menyentuh setitik luka yang kau gambar sendiri
Engganku menghapus satu nama yang kau benci
Kini kita menggunung rindu satu sama lain
Rindu yang berbeda,
Rindu dua arah di jalan setapak yang selalu kita lewati
Ingatkan aku ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang tak mungkin kau dambakan






astria