Laman

Senin, 07 Juli 2014

Kopi dan Teh



Secangkir kopi dan teh yang ku pesan baru saja datang tepat bersamaan dengan kedatangan pria bergitar yang kutunggu sejak sejam yang lalu. Bajunya tampak kusut saat ia melepaskan jaket parasut yang ku belikan. Celana dasar berwarna hitam yang ia kenakanpun terlihat tak lagi bernyawa tertimpa air hujan. Tampilannya sangat berantakan berbeda dari biasanya.
Ia tersenyum memamerkan lesung pipi sambil menyapaku. Matanya berbinar, terpancar jelas ada kebahagiaan di matanya. Ia bergegas menuju kearahku yang saat ini duduk di pojok cafe, tempat kesukaan kami berdua. Tempat ini tergolong kecil. Hanya ada beberapa meja yang di sediakan untuk 2 atau 3 orang.
“Teh manis, seperti biasa hahah..” ledeknya.
“Kopi manis juga seperti biasa tuan muda, hahah..” balasku.
Ia menyesap kopinya sambil menatapku genit. Entah mengapa, kulakukan hal serupa pula, menyeruput teh manisku sambil menahan senyum. Dengan usil salah satu pelayan berdeham lalu tertawa. Lantas saja membuat pipiku menghangat. Pasti pipiku memerah. Tertawa terbahak-bahaklah lelaki berkacamata di hadapanku ini membuatku semakin tersipu olehnya.
Ia mencubit pipiku, mungkin gemas melihatku yang salah tingkah. Matanya menyipit kala ia tersenyum. Mungkin seharusnya aku yang gemas terhadapnya. Terhadap pipinya, perilaku bodohnya, dan mata kecilnya.
Sebuah lagu bertema Romance terlantun di cafe kecil bernuansa klasik ini. Ia bernyanyi Lipsinc seolah-olah sedang berusaha merayuku menggunakan lagu. Diambilnya roti gandum sebagai mic dan bunga yang ada di vas seakan-akan ia sedang bermain film. Semakin gila aku dibuatnya.
Ia tak pernah kehabisan akal untuk menggodaku. Bahkan ia selalu memiliki cerita menarik yang ia bagikan padaku. Berbagi apapun yang ia punya denganku.
Tak terasa hari semakin malam. Ku seruput tehku sampai habis. Ku lirik jam di tangan, Pukul 20.00 sudah saatnya pulang. Dengan malas aku merapihkan barang bawaanku dan pamit pulang. Rayuan manjanya yang memintaku untuk tetap tinggal dan duduk sebentar lagi tak mungkin bisa di tolak.
Ia bangun dari kursinya dan menarikku menuju parkiran. Aku terdiam menatapnya heran karna terkejut dengan perilakunya. Ia memelukku erat-erat, kubalas pula pelukkan itu. Tak perlu banyak kata untuk menjelaskan apa-apa. Seolah-olah hati kami saling bicara tentang apa yang kami rasakan.
Ia mengecup keningku, ku tatap ia beberapa detik lalu bergegas pergi.  Aku berjalan meninggalkannya yang masih berdiri di depan sedan tua kesayangannya. “Aku menyayangimu!” teriaknya. Membuat langkahku terhenti dan menoleh. Aku juga menyayangimu, bisikku dalam hati yang lalu berbalik badan dan menahan senyum.



astria