Secangkir kopi dan teh yang ku pesan baru saja datang tepat
bersamaan dengan kedatangan pria bergitar yang kutunggu sejak sejam yang lalu. Bajunya
tampak kusut saat ia melepaskan jaket parasut yang ku belikan. Celana dasar
berwarna hitam yang ia kenakanpun terlihat tak lagi bernyawa tertimpa air
hujan. Tampilannya sangat berantakan berbeda dari biasanya.
Ia tersenyum memamerkan lesung pipi sambil menyapaku. Matanya
berbinar, terpancar jelas ada kebahagiaan di matanya. Ia bergegas menuju kearahku
yang saat ini duduk di pojok cafe, tempat kesukaan kami berdua. Tempat ini
tergolong kecil. Hanya ada beberapa meja yang di sediakan untuk 2 atau 3 orang.
“Teh manis, seperti biasa hahah..” ledeknya.
“Kopi manis juga seperti biasa tuan muda, hahah..” balasku.
Ia menyesap kopinya sambil menatapku genit. Entah mengapa,
kulakukan hal serupa pula, menyeruput teh manisku sambil menahan senyum. Dengan
usil salah satu pelayan berdeham lalu tertawa. Lantas saja membuat pipiku
menghangat. Pasti pipiku memerah. Tertawa
terbahak-bahaklah lelaki berkacamata di hadapanku ini membuatku semakin tersipu
olehnya.
Ia mencubit pipiku, mungkin gemas melihatku yang salah
tingkah. Matanya menyipit kala ia tersenyum. Mungkin seharusnya aku yang gemas
terhadapnya. Terhadap pipinya, perilaku bodohnya, dan mata kecilnya.
Sebuah lagu bertema Romance
terlantun di cafe kecil bernuansa klasik ini. Ia bernyanyi Lipsinc seolah-olah sedang berusaha merayuku menggunakan lagu.
Diambilnya roti gandum sebagai mic dan bunga yang ada di vas seakan-akan ia
sedang bermain film. Semakin gila aku dibuatnya.
Ia tak pernah kehabisan akal untuk menggodaku. Bahkan ia
selalu memiliki cerita menarik yang ia bagikan padaku. Berbagi apapun yang ia
punya denganku.
Tak terasa hari semakin malam. Ku seruput tehku sampai
habis. Ku lirik jam di tangan, Pukul
20.00 sudah saatnya pulang. Dengan malas aku merapihkan barang bawaanku dan
pamit pulang. Rayuan manjanya yang memintaku untuk tetap tinggal dan duduk
sebentar lagi tak mungkin bisa di tolak.
Ia bangun dari kursinya dan menarikku menuju parkiran. Aku
terdiam menatapnya heran karna terkejut dengan perilakunya. Ia memelukku
erat-erat, kubalas pula pelukkan itu. Tak perlu banyak kata untuk menjelaskan
apa-apa. Seolah-olah hati kami saling bicara tentang apa yang kami rasakan.
Ia mengecup keningku, ku tatap ia beberapa detik lalu
bergegas pergi. Aku berjalan
meninggalkannya yang masih berdiri di depan sedan tua kesayangannya. “Aku menyayangimu!” teriaknya. Membuat
langkahku terhenti dan menoleh. Aku juga
menyayangimu, bisikku dalam hati yang lalu berbalik badan dan menahan senyum.
astria