Pria yang pernah ku harapkan memberikan sedikit warna untuk hitamnya masalalu
Dengan senyum santun tanpa pamrih yang merekah
Satu-satunya yang masih menganggapku ada
Di saat bumi mulai memusuhiku
Namun aku lupa menoleh padanya
Aku memberikan semanggi ku ke rumput tetangga
Yang hanya di puji sesaat
Lalu dengan santainya ku ambil lagi
Ku taruh di tempat dimana ia dulu seharusnya berada
Belum terlambat untukku menoleh lagi
Setidaknya, aku beruntung kali ini
Astria
Rabu, 15 Juli 2015
Sabtu, 11 Juli 2015
Angin dari Barat
Angin mengetuk pintuku di waktu malam
Memintaku keluar dan berharap pada rembulan
Menyuruhku melabuhkan tinta pena di secarik hati tak berwarna
Hati yang melelapkan angan-angan jingga
Jingga yang sering ia nyanyikan,
Kemudian meredup tanpa pamit
Membawa sebongkah luka dan segenggam hati
Yang terkhianati oleh angin
Angin bilang ia tahu kemana harus pergi
Ketika persimpangan menjadi tempatnya bermain
Kemudian jingga haruslah meredup
Karena angin mulai membicarakan hujan
Yang tak seharusnya mengiringi jingga dalam diam
Astria.
Memintaku keluar dan berharap pada rembulan
Menyuruhku melabuhkan tinta pena di secarik hati tak berwarna
Hati yang melelapkan angan-angan jingga
Jingga yang sering ia nyanyikan,
Kemudian meredup tanpa pamit
Membawa sebongkah luka dan segenggam hati
Yang terkhianati oleh angin
Angin bilang ia tahu kemana harus pergi
Ketika persimpangan menjadi tempatnya bermain
Kemudian jingga haruslah meredup
Karena angin mulai membicarakan hujan
Yang tak seharusnya mengiringi jingga dalam diam
Astria.
Sabtu, 04 Juli 2015
Untuk Lelaki dari Galaksi Andromeda
Kau ada di ujung kelas berbalut kemeja kumal lusuh berwarna gelap
Yang tak pernah kuketahui keberadaannya
Yang tak pernah kupedulikan ada-tidaknya
Kemudian kau mengamatiku
Membangunkanku dari lamunan panjang yang sedang kunikmati
Kau bertanya cinta padaku
Yang kukira tak mungkin ada
Lalu perlahan kau menjebakku
Membawaku kedalam permainan omong kosongmu
Memenjarakanku dan menuduhku sebagai tersangka utama
Kau melupakan sketsa kecil yang kita buat
Yang pernah membuatku bermanja di dalam buaianmu
Dan kau menghapus pelangi yang dengan susah payah kita warnai
Mungkin maksudmu hanya aku
Tapi aku pernah berharap kalau itu adalah kita
Atau tak pernah ada aku dalam pelangimu?
Lalu bagaimana dengan cinta yang pernah kau janjikan dalam alunan malam?
Kalau begitu biarkan aku yang melanjutkan narasi
Tanpa ada dialog antara kita
Astria.
Yang tak pernah kuketahui keberadaannya
Yang tak pernah kupedulikan ada-tidaknya
Kemudian kau mengamatiku
Membangunkanku dari lamunan panjang yang sedang kunikmati
Kau bertanya cinta padaku
Yang kukira tak mungkin ada
Lalu perlahan kau menjebakku
Membawaku kedalam permainan omong kosongmu
Memenjarakanku dan menuduhku sebagai tersangka utama
Kau melupakan sketsa kecil yang kita buat
Yang pernah membuatku bermanja di dalam buaianmu
Dan kau menghapus pelangi yang dengan susah payah kita warnai
Mungkin maksudmu hanya aku
Tapi aku pernah berharap kalau itu adalah kita
Atau tak pernah ada aku dalam pelangimu?
Lalu bagaimana dengan cinta yang pernah kau janjikan dalam alunan malam?
Kalau begitu biarkan aku yang melanjutkan narasi
Tanpa ada dialog antara kita
Astria.
Senin, 01 Juni 2015
Jendela Fajar
Merpati Putih pernah singgah di depan jendela kita
Kau pernah menitip cinta padanya
Beserta mawar putih segar yang baru saja kau petik
Bukan janji sesungguhnya yang ingin kau beri
Hanya khayalan dimasa depan untuk ku kenang dengan seribu omong kosong yang kau beri
Aku pernah menerjang badai yang kukira adalah kita
Ada dan tiadanya cinta tak pernah kau permasalahkan
Jika kau tak mampu sendiri, mengapa harus aku yang kau jadikan sandaran?
Lihatlah, aku mulai merapuh
Tak ada lagi cinta yang menggebu-gebu
Kobaran api terus membakarku hingga meleleh
Dengan tangis dan darah yang mengalir
Segala ketulusan hati kini mulai berkhianat
Menertawakanku di ujung jalan beserta ajudan-nya
Melemparkan kerang hingga luka tak lagi terasa
Hingga sedih dan tawa menjelma menjadi satu
Biru tak lagi menghadang kita
Merah tak lagi berbondong-bondong sombong menerpa kita
Hijau-pun enggan untuk datang
Hitam kini siap untuk menyambut
Menyambut kita di tempat baru yang kelabu dan gulita
Tempat yang tak pernah ingin kita bicarakan
Sudah saatnya kita pergi dan meninggalkan persimpangan
Hadapilah ini,
Fajar
Astria
Kau pernah menitip cinta padanya
Beserta mawar putih segar yang baru saja kau petik
Bukan janji sesungguhnya yang ingin kau beri
Hanya khayalan dimasa depan untuk ku kenang dengan seribu omong kosong yang kau beri
Aku pernah menerjang badai yang kukira adalah kita
Ada dan tiadanya cinta tak pernah kau permasalahkan
Jika kau tak mampu sendiri, mengapa harus aku yang kau jadikan sandaran?
Lihatlah, aku mulai merapuh
Tak ada lagi cinta yang menggebu-gebu
Kobaran api terus membakarku hingga meleleh
Dengan tangis dan darah yang mengalir
Segala ketulusan hati kini mulai berkhianat
Menertawakanku di ujung jalan beserta ajudan-nya
Melemparkan kerang hingga luka tak lagi terasa
Hingga sedih dan tawa menjelma menjadi satu
Biru tak lagi menghadang kita
Merah tak lagi berbondong-bondong sombong menerpa kita
Hijau-pun enggan untuk datang
Hitam kini siap untuk menyambut
Menyambut kita di tempat baru yang kelabu dan gulita
Tempat yang tak pernah ingin kita bicarakan
Sudah saatnya kita pergi dan meninggalkan persimpangan
Hadapilah ini,
Fajar
Astria
Minggu, 17 Mei 2015
Mirror
Kita adalah segelas teh manis hangat
Kau adalah butiran gula
Tentu saja aku gumpalan daun tehnya
Coba kau aduk dengan namamu
Coba kau mulai mengendus harum melatinya
Kau tak perlu menjadi pelayan
Mungkin kau ragu
Iya kau ragu.
Bahkan dalam balutan seragam putih abu yang mulai usang dan sempit
Kita pernah menjadi liar
Entah dalam arti baik atau buruk
Berhentila mengetuk-ngetuk
Kau boleh meneriakan nyanyian hujan
Dengan atau tanpa payung
Tiupkan doamu pada api di atas lilin
Hembuskan namaku dalam doamu
Tahan nafasmu hingga gulita
Akankah kita berdiri di ujung sana suatu hari nanti?
Mungkin kita adalah segelas teh manis hangat
Yang lupa kau aduk dengan namamu
Yang tak pernah kau beri gula
Kita mungkin memang pelayan
Kau tak pernah ragu
Tidak.
Bahkan dalam lilitan kemeja biru muda yang tak pernah ingin kau miliki
Kita pernah menjadi liar
Entah dalam pengertian baik atau buruk
Teruslah mengetuk-ngetuk
Kita akan meneriakan nyanyian hujan
Dengan atau tanpa payung
Mari kita tiupkan doa pada kilatan api
Hembuskan sisa nafas yang selama ini kita simpan
Yakinkan aku kita akan berada diujung sana
Suatu saat nanti
Astria
Kau adalah butiran gula
Tentu saja aku gumpalan daun tehnya
Coba kau aduk dengan namamu
Coba kau mulai mengendus harum melatinya
Kau tak perlu menjadi pelayan
Mungkin kau ragu
Iya kau ragu.
Bahkan dalam balutan seragam putih abu yang mulai usang dan sempit
Kita pernah menjadi liar
Entah dalam arti baik atau buruk
Berhentila mengetuk-ngetuk
Kau boleh meneriakan nyanyian hujan
Dengan atau tanpa payung
Tiupkan doamu pada api di atas lilin
Hembuskan namaku dalam doamu
Tahan nafasmu hingga gulita
Akankah kita berdiri di ujung sana suatu hari nanti?
Mungkin kita adalah segelas teh manis hangat
Yang lupa kau aduk dengan namamu
Yang tak pernah kau beri gula
Kita mungkin memang pelayan
Kau tak pernah ragu
Tidak.
Bahkan dalam lilitan kemeja biru muda yang tak pernah ingin kau miliki
Kita pernah menjadi liar
Entah dalam pengertian baik atau buruk
Teruslah mengetuk-ngetuk
Kita akan meneriakan nyanyian hujan
Dengan atau tanpa payung
Mari kita tiupkan doa pada kilatan api
Hembuskan sisa nafas yang selama ini kita simpan
Yakinkan aku kita akan berada diujung sana
Suatu saat nanti
Astria
Selasa, 12 Mei 2015
Fajar
Hitam, tinggi
Anak kecil? Bukan
Menyerupai? Ya tentu saja
Seringai nakal bagai hujan meteor
Terang cukuplah aku
Kau indah, semua tahu
Tertawalah di balik hujan
Galaxy tak akan marah
Genggam aku, bintang
Nyanyikanlah, mainkanlah
Kau tak mungkin lupa
Bintang adalah aku,
Galaxy adalah kita
Tetaplah di sana, Fajar
Astria
Anak kecil? Bukan
Menyerupai? Ya tentu saja
Seringai nakal bagai hujan meteor
Terang cukuplah aku
Kau indah, semua tahu
Tertawalah di balik hujan
Galaxy tak akan marah
Genggam aku, bintang
Nyanyikanlah, mainkanlah
Kau tak mungkin lupa
Bintang adalah aku,
Galaxy adalah kita
Tetaplah di sana, Fajar
Astria
Teras Hati
Pedihnya lilin api menyergapku di dalam rintihan hujan
Membakar hati yang baru sembuh
Merajut luka baru bersama selusin bola api
Aku menyantap diriku di perapian
Merangkai ragu sejuta kenangan
Dengan goresan abu hitam sisa semalam
Menari-nari di atas tangisku
Melukis sayatan demi sayatan yang pernah kita gores
Mungkin kau lupa menutup pintu
Hingga angin membawamu kepadaku
Hingga kita terlarut dalam dosa
Kau enggan memberi cinta
Yang pernah kau janjikan di depan senja
Yang bahkan tak pernah terbit
Mungkin kau lupa menutup pintu
Saat hujan mulai mengetuk
Saat malam mulai bertamu
Di teras hatimu
Astria
Membakar hati yang baru sembuh
Merajut luka baru bersama selusin bola api
Aku menyantap diriku di perapian
Merangkai ragu sejuta kenangan
Dengan goresan abu hitam sisa semalam
Menari-nari di atas tangisku
Melukis sayatan demi sayatan yang pernah kita gores
Mungkin kau lupa menutup pintu
Hingga angin membawamu kepadaku
Hingga kita terlarut dalam dosa
Kau enggan memberi cinta
Yang pernah kau janjikan di depan senja
Yang bahkan tak pernah terbit
Mungkin kau lupa menutup pintu
Saat hujan mulai mengetuk
Saat malam mulai bertamu
Di teras hatimu
Astria
Minggu, 03 Mei 2015
Bulan dan Dunia
Tiga tangkai bunga layu masih berjajar rapih beserta dengan pitanya. Dua lukisan tua dan dua sketsa usang masih tergantung di dinding. Sebuah novel dan sebuah CD lagu klasik tak pernah berpindah dari tempatnya. Boneka Mickey-pun yang kini berdebu selalu di tempatnya. Inginku mengemas itu semua, menenggelamkan ke dasar laut beserta dengan puing-puing kenangan masa lalu. Aku memejamkan mataku, berusaha tidur bersama bintang. Aku berkhayal tentang banyak hal. Berkhayal tentang ia yang kembali. Berkhayal tentang 'kita' yang sempurna. Berkhayal tentang manis yang terlalu pahit.
Ia memelukku erat. Menggenggamku di bawah payungan lampu kota. Menyanyikan lagu yang seringkali kami nyanyikan. Mencium keningku dengan hangat. Membiarkanku mendekapnya dan terlarut dalam parfumnya. Ia ada disana. Memberikanku sekotak coklat dan sekuntum Edelweiss. Menceritakan tentang dunianya. Memberiku tawa yang pernah hilang, yang telah ku cari selama bertahun-tahun.
Aku mengaguminya, sangat sangat mengaguminya. Tak peduli dengan semua hujatan yang sering orang lontarkan, aku tetap bersamanya. Aku bahkan tak peduli dengannya yang tak sempurna. Aku menginginkannya. Menginginkan ia datang setiap hari menemuiku. Menginginkan dekapannya di kala aku mulai membenci dunia. Menginginkan ia yang menghapus airmataku, terluka bersamaku.
Dan kini, ia ada di depanku. Di dalam khayalanku. Yang inginku raih lagi dengan segala ketidakmungkinannya.
Astria
Ia memelukku erat. Menggenggamku di bawah payungan lampu kota. Menyanyikan lagu yang seringkali kami nyanyikan. Mencium keningku dengan hangat. Membiarkanku mendekapnya dan terlarut dalam parfumnya. Ia ada disana. Memberikanku sekotak coklat dan sekuntum Edelweiss. Menceritakan tentang dunianya. Memberiku tawa yang pernah hilang, yang telah ku cari selama bertahun-tahun.
Aku mengaguminya, sangat sangat mengaguminya. Tak peduli dengan semua hujatan yang sering orang lontarkan, aku tetap bersamanya. Aku bahkan tak peduli dengannya yang tak sempurna. Aku menginginkannya. Menginginkan ia datang setiap hari menemuiku. Menginginkan dekapannya di kala aku mulai membenci dunia. Menginginkan ia yang menghapus airmataku, terluka bersamaku.
Dan kini, ia ada di depanku. Di dalam khayalanku. Yang inginku raih lagi dengan segala ketidakmungkinannya.
Astria
Minggu, 19 April 2015
Atha
Gulita mulai menyelimuti
Bersama datangnya batu benderang
Aku termangu di bawah sini
Menatap ratusan kilometer ke arah sana
Mendengar celotehan angin
Yang membisik hujatan demi hujatan
Ku tatap hati yang kian membiru
Hingga luka terjadi disana
Kau mengoyaknya
Dengan tinta hitam yang kau dapat darinya
Mencoret semua apa itu mimpi
Kertas putih usang yang kau nodai
Biarlah aku menyimpannya
Di album yang ku bingkai sendiri
Yang hanya ada kau di dalamnya
Astria
Bersama datangnya batu benderang
Aku termangu di bawah sini
Menatap ratusan kilometer ke arah sana
Mendengar celotehan angin
Yang membisik hujatan demi hujatan
Ku tatap hati yang kian membiru
Hingga luka terjadi disana
Kau mengoyaknya
Dengan tinta hitam yang kau dapat darinya
Mencoret semua apa itu mimpi
Kertas putih usang yang kau nodai
Biarlah aku menyimpannya
Di album yang ku bingkai sendiri
Yang hanya ada kau di dalamnya
Astria
Kata Hati Ata
Lampu kota pernah memayungi kita
Menembus malam, melangkahi jalan
Tak ada suara saat itu
Kita pemalu
Tanganmu terus mengetuk
Aku tau kamu gugup
Bagaimana kalau kau tetap disitu?
Percayalah, aku sedang mencari
Mencari cara untuk pulang
Mencarimu dalam setiap tinta pena
Mencarimu dalam setiap lantunan lagu klasik
Astria
Menembus malam, melangkahi jalan
Tak ada suara saat itu
Kita pemalu
Tanganmu terus mengetuk
Aku tau kamu gugup
Bagaimana kalau kau tetap disitu?
Percayalah, aku sedang mencari
Mencari cara untuk pulang
Mencarimu dalam setiap tinta pena
Mencarimu dalam setiap lantunan lagu klasik
Astria
Kamis, 01 Januari 2015
Monolog
Hey cinta!
Katakan saja bila kau lapar
Katakan saja bila kau terluka
Aku takkan mengejekmu
Jangan khawatir
Ini bukan salahmu
Ia memang berdosa
Lalu kau masih menunggunya?
Kurasa tidak
Jujur saja
Aku tau kau merasakannya
Jangan ragu
Aku di belakangmu
Lihat, aku tak pernah pergi
Bahkan ketika mentari tenggelam
Coba kau dengar bunyi hujan
Kau tak perlu meneteskan airmatamu
Disini saja sudah cukup
Kau tak perlu lagi menghitung bintang
Biar aku yang menghitungnya untukmu
Ini memang untuk kau simpan
Bukan berarti kau boleh merusaknya
Jangan lagi menyendiri
Katamu kau pernah menjadi senja
Mengapa kau berhenti?
Ah, mungkin kau hanya lelah
Kalau begitu aku akan terus menatap langit
Tak perlu berterimakasih
Ini memang tugasku
Tidak, tolong jangan berpikir demikian
Aku menyayangimu
Tolong dengarkan aku
Sejenak saja
Hingga kau tak lagi lapar
Atau kehausan
Atau malah sengsara
Mari kita meghitung mundur
5..4..3..2..
Tunggu, tunggu
Ia tetaplah di situ
Kumohon jangan beranjak
Lihat refleksimu di air
Kau terlihat pucat
Bahkan dalam balutan sehelai kain sekalipun
Rasanya pasti sakit
Aku tau
Sudah jangan dipikirkan
Mungkin nanti bisa kita diskusikan
Percuma berucap selamat tinggal
Kau kira itu cukup?
Dasar bocah
Sudah telan saja
Berhentilah mengasihani diri sendiri
Kau terlalu naif
Kau tau?
astria
Katakan saja bila kau lapar
Katakan saja bila kau terluka
Aku takkan mengejekmu
Jangan khawatir
Ini bukan salahmu
Ia memang berdosa
Lalu kau masih menunggunya?
Kurasa tidak
Jujur saja
Aku tau kau merasakannya
Jangan ragu
Aku di belakangmu
Lihat, aku tak pernah pergi
Bahkan ketika mentari tenggelam
Coba kau dengar bunyi hujan
Kau tak perlu meneteskan airmatamu
Disini saja sudah cukup
Kau tak perlu lagi menghitung bintang
Biar aku yang menghitungnya untukmu
Ini memang untuk kau simpan
Bukan berarti kau boleh merusaknya
Jangan lagi menyendiri
Katamu kau pernah menjadi senja
Mengapa kau berhenti?
Ah, mungkin kau hanya lelah
Kalau begitu aku akan terus menatap langit
Tak perlu berterimakasih
Ini memang tugasku
Tidak, tolong jangan berpikir demikian
Aku menyayangimu
Tolong dengarkan aku
Sejenak saja
Hingga kau tak lagi lapar
Atau kehausan
Atau malah sengsara
Mari kita meghitung mundur
5..4..3..2..
Tunggu, tunggu
Ia tetaplah di situ
Kumohon jangan beranjak
Lihat refleksimu di air
Kau terlihat pucat
Bahkan dalam balutan sehelai kain sekalipun
Rasanya pasti sakit
Aku tau
Sudah jangan dipikirkan
Mungkin nanti bisa kita diskusikan
Percuma berucap selamat tinggal
Kau kira itu cukup?
Dasar bocah
Sudah telan saja
Berhentilah mengasihani diri sendiri
Kau terlalu naif
Kau tau?
astria
Langganan:
Postingan (Atom)