Laman

Kamis, 12 Desember 2013

Tatapan Teduh


Aku mengenali suara ini. Suara yang sesungguhnya lembut namun di buat seolah-olah terdengar kasar. Aku mengerti maksud dari tatapan itu. Mengarah tajam seolah menusuk pupil dan retina ku namun tetaplah menenangkan.

Ini tentang sebuah perpisahan. Ini bukanlah akhir, hanya sebuah perpisahan.
Hanya? Hahahah ntah mengapa itu terdengar konyol dan memilukan. Disetiap perpisahan pasti ada luka. Tidak selamanya luka berdampak buruk, bahkan mungkin, bisa menjadi sesuatu yang lebih baik. Namun, luka tetaplah luka. Tetap terasa perih dan menyakitkan.
Aku tak boleh menunjukkan apa yang kurasa. Bahkan, aku harus meredam kembali air mata yang hampir jatuh. Aku tau kamu menyadarinya. Dan tetap sama, kamu mengeluarkan senjata andalanmu, tatapan teduhmu.
Kamu duduk termangu diujung sana. Kita saling menyadari bahwa kita saling memperhatikan. Meredam sejenak emosi yang sempat menggebu-gebu. Berpura-pura tak melihat saat mata kita beradu pandang.
Tanganku gemas ingin memelukmu. Mendekapmu meski hanya sesaat. Mencium aroma tubuhmu yang mulai kukenal. Hanya sesaat saja, bahkan aku tak mampu.
Sejujurnya, sebagian dari diri ini tak merelakan kepergianmu, namun, aku harus. Aku tak boleh menjadi penghalang bagimu. Aku akan mendukungmu, disini dan tak akan pergi. Bahkan, aku bisa menjadi rumah untukmu melepaskan segala keluh kesahmu nanti.
Aku mengamati setiap jengkal lekuk tubuhmu. Mengagumi segala sesuatu yang ada di dirimu, hatimu, bahkan jiwamu. Aku... Mencintaimu.
Tak bisakah waktu berlalu begitu cepat saat kita terpisah? Dan berjalan begitu lambat saat kita bersama? Masih banyak hal yang ingin aku lalui bersamamu. Tertawa di balik hujan lagi misalnya. Atau menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menghabiskan segelas teh.
Beberapa jam lagi, ojek udara mu akan lepas landas. Meninggalkan kota kecil ini dengan semangat yang membara, tanpa sadar, ada seorang gadis yang masih berharap kepergianmu hanyalah gurauan belaka.





astria

Kamis, 05 Desember 2013

Sisa-Sisa Hujan

Hujan selalu menjebak kita. Meninggalkan goresan tinta lama dalam cerita.
Kini, bukan aku lagi yang bisa dengan leluasa menggenggam tanganmu. Menyentuh halus kulitmu. Bahkan, menatapmu penuh harap pun aku tak boleh.
Kita telah terpisahkan. Salahkah bila aku masih memendam rasa? Bukankah selalu ada kita dalam setiap tetesan hujan?
Cerita kita telah usai. Terhenti tanpa rasa yang engkau tinggalkan. Tak adakah rasa sesal yang tertinggal? 
Aku menyesap tehku dalam diam.
Pemandangan tragis di depan mata membuat bulu kudukku merinding. 
Kau tak pernah segembira itu saat bersamaku. Bahkan, berdua denganku di tempat ramai kamupun menghindar. 
Tak bolehkah aku iri padanya? Iri pada kalian yang berbahagia. Iri padanya yang mungkin sangat berarti bagimu.
Curahan hujan kian memudar. Itu berarti, kamu akan membawanya pulang dengan motor bebek kesayanganmu itu. Berbagi kasih dalam nyata. Tertawa riang di temani sisa-sisa hujan.
Terlalu hinakah aku hingga tak bisa melakukan semua hal itu bersamamu?
Bintang yang kuraih kini telah berlalu. Kembali ke angkasa bersama bintang-bintang lain.
Bahkan sekarang mengencani sosok bulan purnama.
Oh Tuhan, adilkah semua ini?
Apa aku pernah melukai orang baik sebelum ini?
Tak ku temukan sisa-sisa keadilan hari ini. 
Apa ini yang disebut takdir?
Bolehkah aku menodai takdir ini, Tuhan?




astria.

Rabu, 04 Desember 2013

Cerita Tentang Kita

Mata tajam tapi teduh. Senyum sinis tapi manis. Hidung mancung nan menggemaskan. Badan besar yang selalu membuatku ingin memelukmu. Entah mengapa semua itu sangat mengagumkan bagiku. Di saat setiap orang menghina dan mencelamu, aku ingin sekali membelamu yang aku sendiripun tak tau mengapa. Aku memang belum terlalu mengenalmu, tapi yang aku tau, aku menyukaimu!
Kamu terlalu terjebak dengan masa surammu itu. Aku dan kamu itu sama. Sama-sama di buang. Sama-sama di sia-siakan. Persamaan nasib, apakah ini kebetulan atau takdir belaka?
Kita pernah mencintai orang yang memang layak di cintai, dengan tulus dan tanpa adanya paksaan. Namun, itu tak berarti apa-apa bagi mereka. Kita hanyalah potongan kecil dari sekian banyak orang yang berada disekitar mereka.
Kita saling mengobati hati masing-masing tanpa sadar bahwa takdir membawa kita untuk bersama. Perasaan tak di duga yang kian menyelimuti hati kita. Saling melengkapi tanpa peduli adanya kekurangan dan kejanggalan tentang perasaan ini.
Kita mencoba memulai hal baru. Membuka buku baru dan menyimpan kenangan lama. Memulai segalanya dengan tawa menggelora.
Aku tak menyangka kedekatan kita membawa kita kedalam kisah cinta yang lebih baik. Ini sungguh di luar dugaan dan akal sehatku, secara sadar. 
Kita saling berusaha untuk menjadi lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan bodoh lagi. Bukankah itu indah? Di cintai oleh orang yang kita cintai. Di kasihi oleh orang terkasih. Indah sekali bukan?
Sore itu, di kala mentari hendak tenggelam, aku melihatmu tersenyum menatap kamera yang sedang menyorotmu bersama seorang gadis, meskipun aku tau kamu tak menjatuhkan hati padanya. Sejak saat itu, ntah mengapa sebagian dari diri ini tak merelakan gadis manapun disisimu. 
Awalnya, aku hanya mengagumi sosokmu yang menurutku patut untuk di kagumi dan tak lebih. Bukan, bukan karena fisikmu yang sempurna, tapi karna kamu adalah kamu.
Diam-diam, aku sering memperhatikanmu. Mencoba mendekatimu, memberi sinyal-sinyal bodoh kepadamu. Dan kamu, tak menyadarinya sama sekali.
Aku ingat setiap hal-hal kecil yang kamu lakukan. Bahkan, aku masih ingat bagaimana kamu menggodaku dulu yang mungkin hanya gurauan belaka. Aku sengaja tak menanggapinya, karna sejujurnya, aku takut untuk menjatuhkan hati padamu. 
Kini, terselip namamu dalam setiap doaku. Aku sendiripun tak tau mengapa namamu menjadi selalu tersebut di setiap untaian doa. Bahkan mungkin namamu sekarang berada di list orang-orang yang wajib ku doakan.
Tak ada yang menyangka bukan tentang hubungan ini? Karna cinta tak bisa di prediksi. Begitu juga kita, membiarkan segalanya mengalir tanpa mencoba menebak masa depan.




astria

Jumat, 08 November 2013

Payungan Rintik Hujan.

Kamu terlihat manis di ujung sana dengan balutan kaus putih dan celana hitam yang sudah tak bernyawa tertimpa hujan. Kamu tahu? Menatapmu dari kejauhan di temani segelas teh hangat adalah hal yang paling menyenangkan. Bahkan aku bisa terus berdiri di ujung pintu hingga hujan tak lagi menerpamu.
Aku tak bisa menahan rona merah di pipi saat aku tertangkap basah sedang memperhatikanmu. Tingkahmu yang konyol itu memaksaku untuk terus mengarah padamu. Bahkan, aku hampir tak peduli pada lalu-lalang keramaian di sekitarku. Aku terus dan tetap memperhatikanmu.
Masih ingatkah kamu hari itu? Hari dimana kita bersama. Di payungi rintik hujan dan dingin yang amat menusuk sepanjang sore. Kamu tetap berada disana, membuatku memaksakan diri agar tetap berada di bawah rintik hujan yang kian membara. Tak ada kegetiran sedikitpun dalam jiwa. Bahkan, aku merasa lebih baik setelahnya.
Teh hangatku kini telah habis. Masih tertinggal tawa di baliknya. Aku tersenyum geli menatap gelas yang masih ku genggam, masih tertinggal bias-mu di dalamnya.


astria

Lantunan Jiwa

Ku dekati benda hitam tua di ujung sana. Ku usap perlahan, meninggalkan noda di tangan. Tuts-tuts itu masih bernyanyi dengan sempurna. Lagu demi lagu ku lantunkan, dengan jiwa yang menangis pedih dan batin tersiksa. Semakin anarkis lagu yang ku mainkan, seolah-olah menjerit kesakitan. Tak ada air mata yang jatuh malam itu. Kering kerontang tanpa daya. Bagaikan hempas tertiup doa. Penyesalan tak berguna yang berujung sia-sia.
Kutatap kertas-kertas yang kian kusam. Terdengar suara berisik itu lagi. Berbisik lirih membuat hati semakin gusar. Perasaan cinta yang telah pudar, perasaan benci yang mulai datang. Dosa kecil kini mulai menyelinap dalam diri. 
Sesal tak berujung, sesal tiada guna. Rentetan cerita yang kian absurd terus terbayang. Melukai dua hati yang saling mencinta. Tangis pun tak mengubah apapun. Permintaan maaf yang berkali-kali terlontar seakan hanya lolongan belaka. Inginku bersembunyi dan tak pernah muncul lagi. Hilang dan terlupakan. Namun, sosok gelap itu selalu membayangiku. Meraung-raung membawaku bernostalgia.
Beginilah aku yang terjebak dalam luka lama. 
Seakan terjerat dan tak akan usai.



astria

Jumat, 11 Oktober 2013

Aku Telah Kembali

Dingin malam itu kian terasa saat aku tiba. Lampu kota seakan menyapaku hangat mengucapkan selamat datang. Hujan pun menemani perjalananku dalam diam tanpa kegetiran sedikitpun. Pemandangan sepanjang jalan tol malam itu membuatku tersenyum geli mengingat hal-hal yang telah aku tinggalkan.
Kota ini punya cerita tentang kami. Tentang bagaimana kami menghabiskan segelas teh hangat bersama. Tentang bagaimana tangis yang ia tumpahkan saat perpisahan itu tiba.
Aku selalu menyukai keadaan malam Jakarta. Dengan hujan yang cukup lebat dan jalan tol yang macet hingga berjam-jam. Ada cerita yang dikisahkan dengan tulusnya hari itu. Cerita singkat yang menimbulkan perasaan antara dua insan. Perasaan yang selalu menggebu dan menginginkan hal yang lebih. Perasaan yang membawa kami semakin larut dalam lembaran cerita berikutnya.
Cerita kami tak pernah usai. Layaknya lingkaran yang tak berujung. Layaknya lagu cinta yang tak pernah menginginkan adanya akhir. Karna kami sangat menikmati setiap jengkal hal yang kami lalui. Menikmati cinta yang tumbuh antara kami. Merangkai mimpi sebanyak yang kami mau. Tertawa renyah disetiap obrolan kecil yang kami buat.
Pernah ada tangis yang membanjiri tempat ini. Tangis yang pecah begitu saja ketika ia memelukku. Ia memelukku hangat, sehangat teh yang kami minum sore itu. Pelukkan selamat tinggal. Bahkan, aku masih bisa merasakan saat tubuhnya mendekapku erat seolah tak merelakanku pergi.
Namun kini, aku telah kembali. Dan aku berjanji, tak akan ada tangis dalam kisah selanjutnya.

Aku telah kembali dengan aku yang lain. Aku yang bisa kamu banggakan. Aku yang lebih baik. Aku yang siap membuka tanganku lebar untuk memelukmu lagi. Aku yang kamu inginkan. Dengan senyum dan pandangan yang lain. Senyum yang lebih merekah dari hari kemarin. Karna penantian ini, tak akan sia-sia. 




astria

Kamis, 03 Oktober 2013

Mimpi.




Perlahan langit mulai gelap. Sunset telah usai beberapa menit yang lalu. Aku duduk di pondok dekat pantai dengan segelas teh hangat yang menemani. Kupandangi laut dalam gelap malam. Sesekali kupejamkan mata merasakan dingin malam itu. Perlahan, aku berdiri. Aku berusaha melawan sepi yang menggeliat dalam diri. Di pantai ini, terdapat sejuta kenangan tentang ‘aku’ dan ‘dia’. Pantai ini, merupakan saksi bisu segala hal tentang ‘aku’ dan ‘dia’. Tentang bagaimana waktu yang tak terhitung yang telah kami habiskan bersama.
Kuambil segenggam pasir pantai. Perlahan kugenggam dan mulai berjatuhan lah sedikit demi sedikit. Aku sadar, perasaannya telah pudar. Perlahan menjauh dan membuang rasa yang pernah ada. Tak ada lagi canda tawa dan secarik kisah tentang ‘aku’ dan ‘dia’. Tak ada lagi khayalan gila yang kami buat bersama. Aku terhempas oleh waktu. Waktu yang perlahan membuat kami menjauh. Waktunya untukku sudah habis dan tak mungkin dapat terulang. Namun, aku tak setegar batu karang di lautan. Aku kalah dan mengalah pada takdir. Aku tak mampu merubah takdir seorang diri.
Wajahku berubah pucat pasi membayangkannya di depan mata. Mata yang membuka kisah kasih indah tentang pantai ini. Mata yang menyadarkanku bahwa kisah kami telah usai. Cerita cinta kami telah ternodai. Ada goresan kecil di hati ini, dan aku yakin, juga di hatinya.
Kisah ini terlupakan. Terlupakan segala angan-angan dalam benak diri. Hancur sebuah harapan yang telah kami rangkai selama ini. Ntahlah, mungkin tak ada lagi cara untuk membenarkan sesuatu yang telah rusak. Karna kisah ini, tak mungkin terulang.
Dia mengajakku terbang tinggi dengan caranya. Meluapkan berbagai emosi dengan hangat. Menanamkan benih kasih yang kian tumbuh seiring berjalannya waktu. Kini, dia telah pergi jauh meninggalkan mimpi yang telah kami ukir. Meninggalkan bekas luka tanpa mengobati.
Hanya rasa rindu yang ia tinggalkan. Rindu yang kian hari kian membara. Rindu yang tak pernah tersampaikan. Karna rindu ini, tak mungkin terbalaskan.


 astria

Minggu, 29 September 2013

Pertemuan Singkat.

Awan menggelap dengan sendunya. Tetes demi tetes air perlahan berjatuhan. Jatuh dengan lembut menyentuh tanah yang kering. Aku menadahkan tangan agar bisa menyentuhnya. Merasakan isak yang hujan rasakan. Ikut meringis dalam hati menahan kepahitan. Terbuka lagi memori-memori lama yang selama ini kusimpan, ku sembunyikan. Ingatan-ingatan yang lalu terputar kembali di otakku.
Ku putar lagu tentang kamu. Aku biarkan jiwa menjeritkan kesedihan. Aku biarkan airmata mengalir sederas hujan hari ini. Ntah mengapa, aku suka melakukan hal ini. Menangisi kepergianmu, mengharap-harap kehadiranmu disini.
Yap, doaku dengan sempurnanya terkabul. Tuhan mempertemukan kita lagi. Dengan cara yang berbeda. Dengan waktu yang terlalu singkat. Bahkan, tak sepatah katapun keluar dari bibirmu. Keterkejutanku dan keterkejutanmu membuat kita membisu. Hanya senyuman tipis bahkan hampir tak terlihat yang kamu tunjukkan. Sedangkan aku, berusaha setulus mungkin untuk tersenyum. Sekuat mungkin terlihat biasa saja tanpa terlihat terluka. Sangat berbeda denganmu yang terlihat lebih bahagia dari biasanya.
Pertemuan singkat yang meninggalkan bekas. Aku memacu motor bebekku secepat mungkin. Aku tak bisa lagi menahannya. Air mataku tumpah lagi. Jalanan di depanku seketika memburam. Hanya terlihat lampu-lampu kota di sekelilingku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku berhenti di sebuah tempat yang cukup sepi. Ku peluk erat kedua lututku. Ku genggam erat jemariku. Berusaha menghilangkan rasa sakit ini. Sendiri. Aku lah yang menghapus airmataku sendiri selama ini. Aku menyimpan semua kepedihan ini untukku sendiri. Sedih itu milikku, kamu tak perlu tahu ataupun orang lain. Aku memendam segalanya. Aku.. Aku.. Masih mencintaimu. Masih sangat mencintaimu. Adalah dusta apabila aku bilang aku membencimu, bohong ketika aku bilang tak peduli padamu. Aku tak tau sampaikan kapan aku akan mendustakan orang lain dan hati kecilku sendiri.
Aku tak pernah ingin berpaling darimu. Bagaimana aku bisa berpaling sedangkan aku masih sangat mencintaimu? Aku masih berharap. Berharap kamu sadar. Berharap kamu merindukan aku seperti aku merindukan ‘kita’.
Mungkin, suatu saat kamu akan kembali ke tempat kamu seharusnya, tempat ‘kita’ dulu. Aku menunggumu disini. Aku menunggumu dalam diam. Aku tak ingin membuatmu risih ataupun terkekang. Aku disini untukmu. Tanganku selalu terbuka untuk menyambutmu.
Karna suatu hari nanti, ketika kamu sadar dan merindukanku, ketika hatimu mulai terbuka lagi untukku, ketika kamu berpikiran untuk kembali, aku ada disini. Dan aku, tak pernah berpaling.


astria.

Rabu, 18 September 2013

Sepatu Untuk Adi

Matahari tenggelam hari mulai malam, sudah waktunya Adi dan teman-temannya untuk pulang. Hari itu adalah hari yang paling melelahkan bagi Adi. Bagaimana tidak, sepulang sekolah dia harus ikut latihan futsal terlebih lagi latihan fisik. Waktu berlangsungnya turnamen semakin dekat, itu berarti akan ada latihan tambahan dan lebih gila lagi.
Adi sebenarnya adalah anak yang pintar, akan tetapi semenjak ia bergabung dengan ekstrakulikuler futsal prestasi akademiknya menurun. Ibunya marah besar karnanya. Sehingga Adi harus membeli perlengkapan futsalnya sendiri hasil dari menyisihkan sebagian uang jajannya.
Malangnya nasib Adi hari itu. Ia telah merobek sepatu futsal kesayangannya. Sepatu itu akan di pakainya untuk turnamen bulan depan. Ia telah menghabiskan seluruh uang jajannya untuk membeli kado untuk temannya minggu lalu.
                “Bu, ibu cantik sekali hari ini, bolehkah Adi membantu ibu di dapur?” Adi mulai merayu ibunya.
                “Boleh saja. Tumben sekali kamu mau membantu ibu, ada maksud apa?” tanya ibunya yang mulai curiga dengan gerak-gerik Adi.
                “Nggg... Adi mau minta di belikan sepatu baru Bu. Sepatu Adi rusak dan sudah tidak layak pakai”.
                “Yasudah, tapi ibu hanya menambahkan setengah dari harga sepatu. Sisanya, Adi harus menabung agar uangnya cukup”.
Hari-hari berikutnya Adi semakin giat untuk menabung. Bahkan ia membawa bekal agar bisa menyisihkan lebih dari separuh uang jajannya. Akan tetapi, hasil dari menyisihkan uang jajannya itu tentu saja tidak cukup untuk menambahkan uang dari ibu yang kurang.
Kakaknya, Mbak Dina, merasa kasihan melihat adiknya yang sedang dalam kesulitan itu. Turnamen hanya tinggal beberapa minggu lagi dan Adi tidak mempunyai sepatu. Mbak Dina pun membongkar celengan sapi kesayangannya. Sebenarnya, Mbak Dina ingin membeli handphone keluaran terbaru menggunakan uang yang selama ini ia masukkan ke dalam celengan.
Esok paginya, seperti biasa, Adi dan Mbak Dina berceloteh ringan di meja makan. Mulai dari sekolah, teman, guru-guru yang membosankan, hingga tukang sapu sekolah, dan berbagai macam kegiatan. Seketika Mbak Dina teringat dengan sepatu Adi yang rusak.
                “Di, kok bisa sepatumu hancur lebur begitu?” singgung Mbak Dina. “Wajar mbak, sepatu itu kan sudah lama umurnya. Sudah waktunya di ganti” jawab Adi dengan santai.
Mbak Dina hanya membuang nafas panjang. Begitulah sifat Adi, selalu saja asal.
                “Ini Mbak tambahkan, tapi Adi harus menang yah dan nilai di sekolah harus bagus!” seru Mbak Dina.
Tentu saja mendengar itu mata Adi berbinar-binar.  Dia tidak perlu menyisihkan uang jajan terlalu banyak, ia bisa jajan sedikit lebih banyak sekarang.
Tepat seminggu sebelum pertandingan berlangsung Adi menghadapi ujian semester. Adi berusaha menepati janjinya agar belajar lebih giat. Adi tidak boleh gagal di ujian kali ini.
                “Nah ini baru adik Mbak yang paling ganteng” ledek Mbak Dina saat Adi sedang mengerjakan soal fisika.
                “Ya kan Adi sudah janji sama Mbak” sahutnya.
Setelah bel pulang berbunyi, Adi bergegas pulang ke rumah. Padahal tidak biasanya ia pulang sebelum jam satu. Ibu sudah berjanji hari ini akan mengajak Adi membeli sepatu baru.
Sesampainya di toko, Adi gelap mata. Rasanya ingin sekali membawa pulang semua sepatu yang ada di toko. Akhirnya Adi mendapatkan sepatu yang sangat pas untuknya, ia merasa puas karenanya. Sepatu itu berwarna merah dan ada sedikit corak kuning dan hitamnya.
Adi berhasil meraih juara pertama, meskipun ia bukan pemain terbaik, tapi ia sangat puas dengan apa yang ia dapat. Terutama perjuangannya untuk membeli sepatu baru yang merupakan saksi bisu kemenangannya untuk pertama kali.

                                                                                                                  

Seperti (dulu).

Lagu itu terus berputar dalam memori ku. Entah siang, malam, ramai ataupun sunyi. Aku hanya merasa kosong dan sendiri setiap saat. Sudah 2 minggu dan rasa perih itu belum hilang. Aku tak tau sampai kapan luka ini menggerogoti hatiku yang kecil ini.
Aku menyesali setiap hal yang pernah kita lalui bersama. Aku menyesal telah menjatuhkan hati padamu. Aku menyesal telah berharap banyak padamu.
Harusnya, aku lebih bisa menahan diri dan tahu diri saat itu. Harusnya aku tidak nekat untuk terus menelusuri hatimu sehingga memberimu kebimbangan yang dalam.
Aku memaksa masuk dan merusak hal indah bagi ‘nya’. Sulit bagiku untuk berhenti mengagumimu dalam diam. Hati kecilku memaksa agar aku bisa berbuat lebih untuk bersamamu.
Akulah orang terdekatmu sebelum ada dia. Akulah satu-satunya orang yang kamu percayai sebelum ada dia. Aku tidak pernah menyangka akan merasa kehilanganmu setelah kamu mendapat tambatan hati. Bahkan aku terlambat menyadari bahwa ternyata aku menyukaimu sejak dulu! Bagiku, persahabatan kita adalah yang terbaik dari segala-galanya. Dimana ada aku, disitu ada kamu. Hanya dua insan yang saling menyayangi sebagi sahabat. Aku bahkan tidak merasa membutuhkan seorang kekasih karna kamu telah merangkapnya.
Kamu bisa menjadi kakak, sahabat, bahkan terkadang kamu berlaku sebagai kekasihku. Aku merasa sempurna karna memilikimu! Kamu selalu bisa menghapus air mataku. Aku bahkan tak perlu meminta pinjaman bahu karna kamu akan lagsung memelukku ketika aku terluka.
Bertahun-tahun persahabatan tanpa pamrih kita lalui dengan segala sukacita. Namun ada kejanggalan padamu beberapa bulan terakhir. Kamu menyukai seorang perempuan yang cantik nan indah. Aku tersingkir olehnya. Kamu memilihnya dan meninggalkanku. Ntah mengapa aku tidak terima dengan perlakuan ini.
Bukankah seharusnya aku mendukung hubunganmu? Bukankah seharusnya tak ada kecemburuan dalam diri ini? Aku kalah. Aku melangkah mundur dengan teratur tanpa kau minta.
Hingga suatu hari aku mulai mengagumi seorang pria tinggi, cukup tampan, dan perawakan Jawa. Dia mendekatiku dan akupun mulai belajar menerimanya. Aku berusaha keras agar bisa menyayanginya seperti aku menyayangimu. Tapi hati tak bisa berbohong. Aku masih (terlalu) mencintaimu. Dan aku sadar, aku tidak bisa mencintai orang lain dengan perasaan yang sama.
Tiba-tiba, hari itu kamu kembali padaku. Mungkin kamu sedang bosan dengan ‘Si Cantik’. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan yang menggelora. Hatiku berjerit-jerit untuk segera menyatakan. Lalu meluncurlah kata-kata maut yang mulai merusak segalanya. Aku menyatakannya.
Mungkin, saat itu kamu merasa iba. Tak tega melihatku yang menatapmu penuh harapan.  Hubungan terlarang itupun akhirnya terbongkar. Usai sudah karna kamu tetap memiihnya dan meninggalkanku lagi.  Aku tak berdaya mendengar keputusanmu itu. Hujanpun tak bisa menutupi air mataku yang lebih deras. Aku terisak berhari-hari, hingga saat ini.
Apakah ia lebih menyayangimu  daripada aku? Apakah dia yang bisa membuatmu nyaman? Bukankah aku yang lebih tau banyak tentangmu daripada dia? Aku yang sudah bertahun-tahun bersamamu dan dia hanya perlu hitungan bulan untuk merebutmu.
Apa dia berhasil menghapus airmatamu seperti aku dulu? Apakah kamu juga melakukan kebiasaan kita dulu saat bersamanya? Aku tak pernah tau jawabannya.
Harusnya aku tidak pernah menyatakan hal bodoh itu. Dan harusnya hati ini tak perlu repot-repot untuk menyukaimu. 

Terbanglah.. Dan kembalilah saat lukaku sembuh. 

Senin, 19 Agustus 2013

Bolehkah Aku Mengagumimu?

Bolehkah aku menjadi penggemarmu?
Penggemar lekuk wajahmu. Penggemar senyum manismu. Penggemar mata teduhmu.
Ah aku ingat saat itu. Saat pertama kali kita bertemu. Tidak terpikir saat itu untuk mengagumi. Walaupun aku sadar, kamu berbeda. Kamu tersenyum padaku. Singkat, namun tulus dan hangat. Senyum yang baik untuk kesan pertama menurutku.
Aku mengagumi dalam diam. Kurasa tak mungkin untuk meminta atau bahkan berharap lebih. Kita berbeda. Terlalu berbeda. Kenapa perbedaan ini begitu dalam? Padahal aku bisa saja menerima mu walaupun kita berbeda. Tapi aku tau, itu tak mungkin bagimu. Aku tak sadar ada jurang besar dalam perbedaan kita. Terlalu besar dan kurasa terlalu sulit jika aku memaksakan.
Jujur saja, aku takut mengagumimu. Aku takut ada rasa lain yang menginginkan sesuatu lebih dalam. Sesuatu yang lebih dekat. Hanya saja, aku terlalu mengagumi mu hingga terkadang aku lupa diri. Bahkan aku lupa bahwa kamu pasti memiliki penggemar yang memuja-mujamu meskipun dalam diam. Aku tau kamu menyadarinya dan sudah biasa menghadapinya. Harusnya kamu tak boleh terlalu baik dengan orang lain apalagi hingga menimbulkan persepsi lain. Termasuk aku. Aku takut..
Sentuhan tanganmu itu.. Tentu saja meninggalkan bekas. Meskipun hanya 'sentuhan' dan bukan 'genggaman'. Meskipun hanya sebentar dan berlalu begitu saja.
Aku selalu menyetujui idemu walau sebenarnya bukan itu yang kuinginkan. Aku berusaha untuk menyukai apa yang kamu sukai tanpa kamu sadari. Aku berusaha mengimbangimu meski sulit dan nyaris tak mungkin.Tapi setidaknya aku sudah berusaha dan aku merasa senang melakukannya.
Masih ingatkah kamu di malam-malam itu? Malam yang memaksamu untuk tetap tinggal karna hujan yang tak kunjung henti. Diam-diam aku memperhatikanmu. Memperhatikan tingkah konyol dan lucumu.
Kamu terlihat lugu dan polos untuk ukuran seusiamu. Kamu terlihat seperti anak kecil yang menggemaskan meskipun kenyataannya tubuh kekarmu mampu membuatku takhluk. Baby face. Apalagi ketika kamu tersenyum. Aku berusaha untuk tetap dekat denganmu. Cukup dekat tanpa suarapun takapa. Aku selalu merasa nyaman setiap kali kamu ada di sekitarku.
Aku berusaha sekuat mungkin untuk hanya menjadi penggemarmu tanpa harus menyukaimu. Tanpa harus takut kehilanganmu. Mungkin sikapku terlalu kekanak-kanakan di matamu. Tapi beginilah aku. Dan begitulah caraku agar tetap dekat denganmu. Begitulah hal yang aku ingin agar terus berlanjut.
Aku hanya ingin melihat dan mengagumi segala yang ada padamu setiap saat. Aku hanya ingin menikmatinya untukku sendiri. Tanpa harus mengganggumu atau merugikan orang lain.

Jadi, bolehkah aku tetap mengagumimu?


astria.

Selasa, 13 Agustus 2013

3ekor Kelinci dan Jerapah

Pada suatu hari, di sebuah hutan rimba terdapat seekor jerapah sedang berjalan-jalan berkeliling hutan. Setiap sore hari jerapah itu akan mengelilingi hutan tanpa peduli apakah hari sedang cerah atau hujan deras.
Namun, sore ini jerapah itu kurang beruntung. Ada perangkap yang menjebak kakinya. 
    "Oh. Bagaimana ini.. Padahal aku sedang ingin sekali berkeliling hutan dan melihat bebek-bebek di ujung sana." gerutunya.
Tak lama kemudian, 3 ekor kelinci datang. Melihat ada hewan lain yang sedang kesusahan, mereka pun menghampirinya dan hendak membantunya.
    "Wah ada apa dengan kakimu? Biarkan kami membantu mu!", seru 3 ekor kelinci. Dengan segera mereka turun dan membantu jerapah melepaskan diri dari perangkapnya.
    "Terimakasih karna telah membantuku!", lalu jerapah itu pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke 3 ekor kelinci yang telah membantunya.
Keesokan harinya, jerapah pergi berkeliling hutan lagi. Dia merasa sangat lapar. Jadi ia memutuskan untuk memakan apel yang ada di atas pohon. Dengan mudahnya ia mengambil apel-apel itu karena lehernya yang sangat panjang. Tiba-tiba 3 ekor kelinci datang menghampiri jerapah yang sedang asik melahap apelnya.
     "Bisakah kamu mengambilkan apel-apel itu untuk kami? Kami sangat lapar.", ujar3 kelinci itu. "Kalau kalian mau, ambil saja sendiri! Untuk apa juga aku harus menolong kalian." ketus jerapah yang lalu segera meninggalkan 3 ekor kelinci.
Jerapah merasa sangat senang karna perutnya telah terisi kembali, ia berniat untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Tak jauh dari pohon apel tadi, terdapat perangkap yang cukup besar. Akan tetapi, jerapah tidak menyadari bahwa ada perangkap di depan sana. Ia tetap berjalan santai seperti biasanya.
Ia merasakan sakit yang luar biasa pada kakinya begitu menyadari ada perangkap yang menjeratnya lagi. Tidak ada siapa-siapa disana kecuali 3 ekor kelinci.
     "Tolong aku! Tolong aku! Kumohon tolong aku!" jerit jerapah itu berkali-kali. Akan tetapi kelinci-kelinci itu pergi begitu saja tanpa mempedulikan jerapah karena mereka sangat kesal pada jerapah yang tidak mau menolong mereka sebelumnya.