Tak akan pernah ada jalan pulang
Yang kita tuntut setiap detik
Egoku menjebakmu ke dalam luka
Hingga sakit yang kau tangisi
Enggan sembuh
Tetaplah menjadi gerimis di malam-malam
Karena tak ada puisi lagi yang dapat ku tulis
Selain gerimismu
-ast
Senin, 14 November 2016
Minggu, 13 November 2016
22.00
Ini belum lewat tengah malam
Namun aku mulai merindukan senja
Berharap senja berhasil menggarap rindu
Agar ia mau
Hadir dan kembali
Menggembleng asa
Agar ia tak bodoh
Lagi, lagi dan lagi
Agar ia mau
Menyambut
Langit cerah dan embun fajar
-ast
Namun aku mulai merindukan senja
Berharap senja berhasil menggarap rindu
Agar ia mau
Hadir dan kembali
Menggembleng asa
Agar ia tak bodoh
Lagi, lagi dan lagi
Agar ia mau
Menyambut
Langit cerah dan embun fajar
-ast
22.54
Aku akan mencintaimu
Hingga dua atau tiga hari
Walau kau tutup mata dan telingamu
Biarlah hujan meneriakan
Kembalimu
Tuk di nanti setiap malam
Jangan paksa cinta hadir
Karena ia selalu jatuh untukmu
-ast
Hingga dua atau tiga hari
Walau kau tutup mata dan telingamu
Biarlah hujan meneriakan
Kembalimu
Tuk di nanti setiap malam
Jangan paksa cinta hadir
Karena ia selalu jatuh untukmu
-ast
Sabtu, 15 Oktober 2016
Stasiun Kota 121
Debu meminta angin datang di
stasiun kota
Mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pelukan atau senyuman
Dan kereta api melengking
lama
Ia marah-marah
Dan tak ada hujan atau
pelangi
Kemudian ia pergi
Angin berlalu
Tangis datang
Pelangi porak-poranda
Hanya payung yang menjadi
teman
Pada gerimis diakhir malam
astria
Senin, 03 Oktober 2016
Rabu di Bulan Ketiga,1970
Penyendiri bersenandung di balik meja
Menata rapih kacamata yang patah
Beranjak pergi meraih gemerlap malam
Dengan tangan tersangkut dibelukar
Ia tampak secantik mawar
Terlihat semenggoda wine yang ia teguk
Dengan stilleto merah dan gaun biru yang bangga membalut dosa
Kemudian malam mulai menyelinap pada amarah
Yang menggugurkan daun di musim panas
Menyisakan tangkai tak bertuan
Meleburkan diri pada isakan hujan di malam rabu
astria
Menata rapih kacamata yang patah
Beranjak pergi meraih gemerlap malam
Dengan tangan tersangkut dibelukar
Ia tampak secantik mawar
Terlihat semenggoda wine yang ia teguk
Dengan stilleto merah dan gaun biru yang bangga membalut dosa
Kemudian malam mulai menyelinap pada amarah
Yang menggugurkan daun di musim panas
Menyisakan tangkai tak bertuan
Meleburkan diri pada isakan hujan di malam rabu
astria
Bukan Puisi Patah Hati
Ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Tidak ada jingga atau merah hati yang berturut serta
Warna yang meredup malu untuk disaksikan
Engganmu menyentuh setitik luka yang kau gambar sendiri
Engganku menghapus satu nama yang kau benci
Kini kita menggunung rindu satu sama lain
Rindu yang berbeda,
Rindu dua arah di jalan setapak yang selalu kita lewati
Ingatkan aku ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang tak mungkin kau dambakan
astria
Yang tak pernah ku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Tidak ada jingga atau merah hati yang berturut serta
Warna yang meredup malu untuk disaksikan
Engganmu menyentuh setitik luka yang kau gambar sendiri
Engganku menghapus satu nama yang kau benci
Kini kita menggunung rindu satu sama lain
Rindu yang berbeda,
Rindu dua arah di jalan setapak yang selalu kita lewati
Ingatkan aku ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang tak mungkin kau dambakan
astria
Selasa, 26 April 2016
Selamat Malam, Mentari
Selamat malam, Mentari..
Aku menitipmu pada lautan awan di ujung bibirku
Yang selalu bertanya kemana kau akan pulang malam ini
Mataku masih merekammu di balik daun-daun selimut
Dengan teduh, laut, dan angin
Kita mengendus bau yang sama, Sayang
Kau yang termangu di jendela, dan aku berada di balik jeruji besi
Lukamu, lukaku
Yang kita sama tahu tak ada yang bisa sembuh
Hapus air matamu, Sayang
Karena kita kelak akan bersama
Di bawah nisan dengan namamu dan namaku
astria
Aku menitipmu pada lautan awan di ujung bibirku
Yang selalu bertanya kemana kau akan pulang malam ini
Mataku masih merekammu di balik daun-daun selimut
Dengan teduh, laut, dan angin
Kita mengendus bau yang sama, Sayang
Kau yang termangu di jendela, dan aku berada di balik jeruji besi
Lukamu, lukaku
Yang kita sama tahu tak ada yang bisa sembuh
Hapus air matamu, Sayang
Karena kita kelak akan bersama
Di bawah nisan dengan namamu dan namaku
astria
Nama
Di sekotak papan aku coba merangkaimu
Dengan bunyi tuts berantakan yang ku mainkan
Kerapkali menggebu dan mengganggu
Kau memintaku seutuhnya
Yang mulai kau sentuh dengan cinta dan dosa
Senja membawa kita meninggalkan bumi
Namun tak ada rasa yang bisa ku sertakan di antara kita
Meskipun telah kau pupuk pohon yang seharusnya tak tertanam
astria
Dengan bunyi tuts berantakan yang ku mainkan
Kerapkali menggebu dan mengganggu
Kau memintaku seutuhnya
Yang mulai kau sentuh dengan cinta dan dosa
Senja membawa kita meninggalkan bumi
Namun tak ada rasa yang bisa ku sertakan di antara kita
Meskipun telah kau pupuk pohon yang seharusnya tak tertanam
astria
Langganan:
Postingan (Atom)