Matahari tenggelam hari mulai malam, sudah waktunya Adi dan
teman-temannya untuk pulang. Hari itu adalah hari yang paling melelahkan bagi
Adi. Bagaimana tidak, sepulang sekolah dia harus ikut latihan futsal terlebih
lagi latihan fisik. Waktu berlangsungnya turnamen semakin dekat, itu berarti
akan ada latihan tambahan dan lebih gila lagi.
Adi sebenarnya adalah anak yang pintar, akan tetapi semenjak
ia bergabung dengan ekstrakulikuler futsal
prestasi akademiknya menurun. Ibunya marah besar karnanya. Sehingga Adi harus
membeli perlengkapan futsalnya
sendiri hasil dari menyisihkan sebagian uang jajannya.
Malangnya nasib Adi hari itu. Ia telah merobek sepatu futsal kesayangannya. Sepatu itu akan di
pakainya untuk turnamen bulan depan. Ia telah menghabiskan seluruh uang
jajannya untuk membeli kado untuk temannya minggu lalu.
“Bu,
ibu cantik sekali hari ini, bolehkah Adi membantu ibu di dapur?” Adi mulai
merayu ibunya.
“Boleh
saja. Tumben sekali kamu mau membantu ibu, ada maksud apa?” tanya ibunya yang
mulai curiga dengan gerak-gerik Adi.
“Nggg...
Adi mau minta di belikan sepatu baru Bu. Sepatu Adi rusak dan sudah tidak layak
pakai”.
“Yasudah,
tapi ibu hanya menambahkan setengah dari harga sepatu. Sisanya, Adi harus
menabung agar uangnya cukup”.
Hari-hari berikutnya Adi semakin giat untuk menabung. Bahkan
ia membawa bekal agar bisa menyisihkan lebih dari separuh uang jajannya. Akan
tetapi, hasil dari menyisihkan uang jajannya itu tentu saja tidak cukup untuk
menambahkan uang dari ibu yang kurang.
Kakaknya, Mbak Dina, merasa kasihan melihat adiknya yang
sedang dalam kesulitan itu. Turnamen hanya tinggal beberapa minggu lagi dan Adi
tidak mempunyai sepatu. Mbak Dina pun membongkar celengan sapi kesayangannya.
Sebenarnya, Mbak Dina ingin membeli handphone
keluaran terbaru menggunakan uang yang selama ini ia masukkan ke dalam
celengan.
Esok paginya, seperti biasa, Adi dan Mbak Dina berceloteh
ringan di meja makan. Mulai dari sekolah, teman, guru-guru yang membosankan,
hingga tukang sapu sekolah, dan berbagai macam kegiatan. Seketika Mbak Dina
teringat dengan sepatu Adi yang rusak.
“Di,
kok bisa sepatumu hancur lebur begitu?” singgung Mbak Dina. “Wajar mbak, sepatu
itu kan sudah lama umurnya. Sudah waktunya di ganti” jawab Adi dengan santai.
Mbak Dina hanya membuang nafas panjang. Begitulah sifat Adi,
selalu saja asal.
“Ini
Mbak tambahkan, tapi Adi harus menang yah dan nilai di sekolah harus bagus!”
seru Mbak Dina.
Tentu saja mendengar itu mata Adi berbinar-binar. Dia tidak perlu menyisihkan uang jajan
terlalu banyak, ia bisa jajan sedikit lebih banyak sekarang.
Tepat seminggu sebelum pertandingan berlangsung Adi
menghadapi ujian semester. Adi berusaha menepati janjinya agar belajar lebih
giat. Adi tidak boleh gagal di ujian kali ini.
“Nah
ini baru adik Mbak yang paling ganteng” ledek Mbak Dina saat Adi sedang
mengerjakan soal fisika.
“Ya kan
Adi sudah janji sama Mbak” sahutnya.
Setelah bel pulang berbunyi, Adi bergegas pulang ke rumah.
Padahal tidak biasanya ia pulang sebelum jam satu. Ibu sudah berjanji hari ini
akan mengajak Adi membeli sepatu baru.
Sesampainya di toko, Adi gelap mata. Rasanya ingin sekali
membawa pulang semua sepatu yang ada di toko. Akhirnya Adi mendapatkan sepatu
yang sangat pas untuknya, ia merasa puas karenanya. Sepatu itu berwarna merah
dan ada sedikit corak kuning dan hitamnya.
Adi berhasil meraih juara pertama, meskipun ia bukan pemain
terbaik, tapi ia sangat puas dengan apa yang ia dapat. Terutama perjuangannya
untuk membeli sepatu baru yang merupakan saksi bisu kemenangannya untuk pertama
kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar