Laman

Rabu, 18 September 2013

Sepatu Untuk Adi

Matahari tenggelam hari mulai malam, sudah waktunya Adi dan teman-temannya untuk pulang. Hari itu adalah hari yang paling melelahkan bagi Adi. Bagaimana tidak, sepulang sekolah dia harus ikut latihan futsal terlebih lagi latihan fisik. Waktu berlangsungnya turnamen semakin dekat, itu berarti akan ada latihan tambahan dan lebih gila lagi.
Adi sebenarnya adalah anak yang pintar, akan tetapi semenjak ia bergabung dengan ekstrakulikuler futsal prestasi akademiknya menurun. Ibunya marah besar karnanya. Sehingga Adi harus membeli perlengkapan futsalnya sendiri hasil dari menyisihkan sebagian uang jajannya.
Malangnya nasib Adi hari itu. Ia telah merobek sepatu futsal kesayangannya. Sepatu itu akan di pakainya untuk turnamen bulan depan. Ia telah menghabiskan seluruh uang jajannya untuk membeli kado untuk temannya minggu lalu.
                “Bu, ibu cantik sekali hari ini, bolehkah Adi membantu ibu di dapur?” Adi mulai merayu ibunya.
                “Boleh saja. Tumben sekali kamu mau membantu ibu, ada maksud apa?” tanya ibunya yang mulai curiga dengan gerak-gerik Adi.
                “Nggg... Adi mau minta di belikan sepatu baru Bu. Sepatu Adi rusak dan sudah tidak layak pakai”.
                “Yasudah, tapi ibu hanya menambahkan setengah dari harga sepatu. Sisanya, Adi harus menabung agar uangnya cukup”.
Hari-hari berikutnya Adi semakin giat untuk menabung. Bahkan ia membawa bekal agar bisa menyisihkan lebih dari separuh uang jajannya. Akan tetapi, hasil dari menyisihkan uang jajannya itu tentu saja tidak cukup untuk menambahkan uang dari ibu yang kurang.
Kakaknya, Mbak Dina, merasa kasihan melihat adiknya yang sedang dalam kesulitan itu. Turnamen hanya tinggal beberapa minggu lagi dan Adi tidak mempunyai sepatu. Mbak Dina pun membongkar celengan sapi kesayangannya. Sebenarnya, Mbak Dina ingin membeli handphone keluaran terbaru menggunakan uang yang selama ini ia masukkan ke dalam celengan.
Esok paginya, seperti biasa, Adi dan Mbak Dina berceloteh ringan di meja makan. Mulai dari sekolah, teman, guru-guru yang membosankan, hingga tukang sapu sekolah, dan berbagai macam kegiatan. Seketika Mbak Dina teringat dengan sepatu Adi yang rusak.
                “Di, kok bisa sepatumu hancur lebur begitu?” singgung Mbak Dina. “Wajar mbak, sepatu itu kan sudah lama umurnya. Sudah waktunya di ganti” jawab Adi dengan santai.
Mbak Dina hanya membuang nafas panjang. Begitulah sifat Adi, selalu saja asal.
                “Ini Mbak tambahkan, tapi Adi harus menang yah dan nilai di sekolah harus bagus!” seru Mbak Dina.
Tentu saja mendengar itu mata Adi berbinar-binar.  Dia tidak perlu menyisihkan uang jajan terlalu banyak, ia bisa jajan sedikit lebih banyak sekarang.
Tepat seminggu sebelum pertandingan berlangsung Adi menghadapi ujian semester. Adi berusaha menepati janjinya agar belajar lebih giat. Adi tidak boleh gagal di ujian kali ini.
                “Nah ini baru adik Mbak yang paling ganteng” ledek Mbak Dina saat Adi sedang mengerjakan soal fisika.
                “Ya kan Adi sudah janji sama Mbak” sahutnya.
Setelah bel pulang berbunyi, Adi bergegas pulang ke rumah. Padahal tidak biasanya ia pulang sebelum jam satu. Ibu sudah berjanji hari ini akan mengajak Adi membeli sepatu baru.
Sesampainya di toko, Adi gelap mata. Rasanya ingin sekali membawa pulang semua sepatu yang ada di toko. Akhirnya Adi mendapatkan sepatu yang sangat pas untuknya, ia merasa puas karenanya. Sepatu itu berwarna merah dan ada sedikit corak kuning dan hitamnya.
Adi berhasil meraih juara pertama, meskipun ia bukan pemain terbaik, tapi ia sangat puas dengan apa yang ia dapat. Terutama perjuangannya untuk membeli sepatu baru yang merupakan saksi bisu kemenangannya untuk pertama kali.

                                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar